Photo by liburananak.com
Museum Wayang Jakarta menempati sebuah bangunan tua warisan jaman kolonial yang berada di sisi sebelah barat Taman Fatahillah, tepatnya di Jl. Pintu Besar Utara 27, wilayah Kota Tua, Jakarta Barat. Museum ini hanya berjarak beberapa meter dari Museum Sejarah Jakarta (Museum Fatahillah), berseberangan dengan Museum Seni Rupa dan Keramik yang berada di sisi timur.
Pada mulanya gedung yang sekarang ditempati Museum Wayang Jakarta itu bernama De Oude Hollandsche Kerk ("Dutch Old Church"), yang dibangun pada tahun 1640. Kemudian pada 1732 gedung itu mengalami renovasi dan namanya berubah menjadi De Nieuwe Hollandse Kerk (Dutch New Church), sebelum rusak karena gempa yang terjadi pada 1808.
Bangunan baru kemudian didirikan pada 1912 di atas reruntuhan bangunan lama dan digunakan sebagai Museum Batavia yang dibuka secara resmi pada 22 Desember 1939 oleh Jonkheer Meester Aldius Warmoldus Lambertus Tjarda van Starkenborg Stachouwer, Gubernur Jenderal Belanda yang terakhir. Adalah Tjarda Van Starkenborgh Stachower dan Jenderal Ter Poorten yang pada 3 Maret 1942 mewakili Belanda saat serah terima kekuasaan Hindia Belanda ke pihak Jepang yang diwakili Jenderal Hitoshi Imamura.
Prasasti yang menandai kubur Jan Pieterszoon Coen, penakluk Batavia pada 1619, yang bisa dijumpai di lantai dasar, beberapa meter dari pintu masuk Museum Wayang Jakarta. Kondisi museum saat saya berkunjung beberapa bulan lalu sudah jauh lebih baik ketimbang ketika pertama kali saya datang, menjadikannya museum yang mengesankan bahkan bagi pengunjung luar negeri sekalipun.
Ada pula beberapa prasasti dari jaman kolonial menempel pada dinding yang letaknya berseberangan dengan prasasti makam Jan Pieterszoon Coen. Saat memasuki ruangan Museum Wayang Jakarta, rupanya tidak hanya wayang yang dipajang di sana tetapi juga beragam boneka dari dalam dan luar negeri, seperti boneka Punch and Jody dari Inggris yang dibuat pada 1971. Lalu boneka dengan penggerak tali dari Perancis, dan koleksi Boneka Guignol yang juga dari Perancis, serta boneka dari India.
Saat itu beberapa remaja tampak tengah duduk di depan tengara kubur berukuran besar yang menempel pada dinding Museum Wayang Jakarta. Tengara kubur di sebelah mereka adalah milik Maraia Garan, sedangkan yang ditengah adalah milik Cornelis Ceser yang meninggal pada 1657, dan di sebelahnya lagi yang reliefnya sudah rusak sehingga ditulis dengan cat adalah tengara kubur Maria Lievens.
Di dalam ruang pamer Museum Wayang Jakarta terdapat koleksi wayang dari berbagai daerah di tanah air, seperti dari Banyumas, Cirebon, Gedog, Kedu, Kaper, Kijang Kencana, Klitik, Madia Krucil, Ngabean, Sadat, Sasak, Suluh, Surakarta, Tejokusuman, Ukur, dan Wahyu. Museum Wayang Jakarta memiliki koleksi 4000 wayang dan boneka dari berbagai tempat. Diantara koleksi wayang luar negeri adalah dari India, Belanda, Malaysia, Thailand, Suriname, Cina, Vietnam, dan Kolombia. Ada pula koleksi topeng, gamelan, dokumen, peta dan foto-foto tua.
Lorong di Museum Wayang Jakarta yang lebih berkelas dibanding sebelumnya, dengan penempatan koleksi dan pengaturan cahaya yang baik serta pilihan koleksi yang bermutu tinggi. Lantai berlapis bilah kayu, serta lempeng akrilik pada benda pajang memberi kesan mewah. Pendingin ruang yang dipasang di beberapa tempat juga memberi kesejukan dan kenyamanan.
Diantara koleksi yang sempat saya catat adalah Wayang Purwa yang berasal dari Bali, Wayang Kulit Purwa dari Banjar Kalimantan Selatan, dan berbagai macam boneka dengan pakaian dan ornamen yang indah berasal dari sejumlah negara, serta sekumpulan wayang golek lokal seperti wayang golek dari Betawi dan beberapa daerah lainnya. Yang juga menarik adalah Wayang Revolusi. Wayang ini menggunakan karakter orang-orang Indonesia yang berperan semasa revolusi kemerdekaan RI, dan juga orang-orang Belanda dan Jepang yang ikut berperan pada masa itu. Wayang Revolusi dibuat oleh Raden Mas Sayid di akhir tahun 50-an.
Wayang Kulit Tejokusuman yang dibuat dari bahan kulit kerbau dan tanduk kerbau ada pula di Museum Wayang Jakarta. Wayang yang menggambarkan tokoh Pandawa lima ini dibuat tahun 1946. Dari kiri ke kanan Bima, Arjuna, Yudistira, Nakula dan Sadewa. Badan wayang kulit Tejokusuman warnanya krem, dan pembuatan dilakukan pada bulan dan hari yang baik menurut hitungan Jawa.
Koleksi lainnya di museum yang diresmikan Gubernur Jakarta Ali Sadikin pada 13 Agustus 1975 ini adalah Boneka Sigale-gale dari Sumatera Utara yang dimainkan dalam upacara kematian seseorang yang meninggal dalam usia muda. Ada pula Gundala-gundala asal Sumatera Utara yang dimainkan dalam upacara mendatangkan hujan serta banyak koleksi menarik lainnya. Saat terakhir berkunjung, lorong keluar yang baru terasa agak sempit namun sangat tinggi dindingnya, berujung pada ondel-ondel Betawi serta toko suvenir.
Di sekitar pintu keluar ini ada ruangan untuk pagelaran wayang gratis, diantaranya Wayang Orang Betawi, Wayang Golek Sunda, Wayang Orang Surakarta, Wayang Beber Netropolitan, Wayang Kulit Betawi, Wayang Revolusi, Wayang Bali, Wayang Kulit Purwa Surakarta, Wayang Kulit Purwa Yogyakarta, dan Wayang Kulit Purwa Banyumas. Pagelaran dilakukan setiap Hari Minggu jam 10.00 - 14.00. Untuk berkunjung ke Museum Wayang Jakarta bisa naik Bus TransJakarta Koridor 1 Blok M - Kota turun di Halte Kota lanjut jalan kaki lewat terowongan, mampir ke Museum Bank Mandiri dan Museum Bank Indonesia lebih dahulu. Kereta Komuter Jurusan Bogor-Kota, Depok-Kota, Bekasi-Kota, Tanjung Priok - Kota, Tanah Abang-Kota turun di Stasiun Jakarta Kota, lanjut jalan kaki menyeberang jalan.
Sumber: aroengbinang.com
Lokasi : Museum Wayang Jakarta
Jalan Pintu Besar Utara No.27, Pinangsia, Tamansari, Jakarta Barat
Tlp : (021) 6929560
Buka : 08.00-17.00 WIB
Senin Tutup
Harga tiket: Rp 5.000/orang (per November 2018)
Website : https://museumseni.jakarta.go.id/